Seorang janda tua pernah mengundang saya untuk selamatan di
rumahnya. Perempuan yang sudah nenek-nenek itu saya tahu mata pencahariannya
hanya berdagang kue keliling kampung yang hasilnya tidak seberapa. Ia hidup
sendirian di Jakarta ,
tanpa sanak keluarga.
Dan ia tinggal di emperan rumah oang lain atas kebaikan
hati si tuan rumah. Hari itu, selepas salat Jum'at ia ingin mengadakan
syukuran.Saya pun segera datang tepat pada waktunya. Tidak berapa lama kemudian
datang pula ketua RT, imam masjid, dan seorang merbotnya. Disusul dengan
kehadiran si tuan rumah yang selama bertahun-tahun memberikan emperan rumahnya
untuk ditempati.
Sudah setengah jam saya tunggu yang lainnya tidak ada yang
datang lagi. Jadi saya tanya, "Masih ada yang ditunggu Nek?" Nenek
itu menggeleng, "Tidak ada, Ustadz. Yang saya undang hanya lima orang, termasuk Ustadz.
Maklum, tempatnya sempit."
Saya tersentuh. Orang kecil ini masih juga ingin mengadakan
syukuran kepada Allah dalam ketidak berdayaannya, sementara banyak orang lain yang
rumahnya besar-besar tidak pernah diinjak tetangganya untuk selamatan. "Apa
tujuan syukuran ini, Nek?" saya bertanya pula. "Begini, Ustadz,"
jawab si nenek. "Saya bersyukur kepada Allah karena sejak bulan depan saya
bisa mengontrak kamar ini, sebulan tiga ribu rupiah. Tadinya tuan rumah
menolak, tidak mau menerima uang saya. Tapi akhirnya ia tidak keberatan,
sehingga utang budi saya tidak terlalu berat."
Masya Allah. Alangkah mulianya hati nenek itu. Ia yang
sebetulnya masih perlu disedekahi, tidak mau membebani orang lain tanpa
imbalan. Dan alangkah mulianya pula si tuan rumah yang tidak mau mengecewakan
hati seoang nenek yang ingin terbebas dari perasaan bergantung pada orang lain.
****Oleh K.H. A. Arroisi
Sign up here with your email
Silahkan berkomentar sesuai dengan tema poting di atas ConversionConversion EmoticonEmoticon