Menikah katanya adalah gudang masalah.
Begitu alasan seseorang yang sudah lama membujang dan tidak ada niatan
untuk menggenapkan setengah din. Lalu apakah jika membujang bebas dari
masalah? Tentu tidak. Membujang pun akan dilingkungi oleh masalah.
Namanya juga hidup. Tidak bujang, tidak mantan bujang akan berhadapan
dengan masalah selama masih ada hayah.
Dan masalah yang aku hadapi juga datang
sejak dari awal menjelang nikah. Aku masih di luar kota karena urusan
bisnis, padahal seminggu lagi mau menikah. Keluarga tentu saja khawatir
tak ketulungan, mau menikah malah. Aku sendiri juga was-was, karena
kalau tidak aku tangani ketika itu bisnis bisa hancur dan kolaps.
Alhamdulillah semua berjalan dengan lancar dan aku bisa pulang jelang
hari nikah dengan keadaan utuh.
Lalu pada awal kehidupan pernikahan, aku
memutuskan untuk ngontrak walau orangtuaku meminta tinggal bersamanya.
Karena alasan satu dan berbagai hal, aku memutuskan untuk ngontrak saja
di kontrakan di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Pada suatu pagi, ketika matahari sedang terbit, pintu rumah kontrakanku diketuk. Suaranya sangat keras, seperti orang yang sedang marah-marah atau orang yang sedang menagih utang.
Tok…tok…tok!!
Aku bergegas menuju pintu. Segera ingin
tahu siapa pagi-pagi begini mengganggu ketentraman orang. Lebih lagi
mengganggu pengantin muda sepertiku.
Kuputar gagang pintu setelah membuka
dengan anak kunci. Aku terkaget dengan sosok yang berbadan tinggi besar
berdiri dan ia…dan ia…memegang samurai!
Tidak, tidak, dia bukan ninja. Mungkin wajahnya lebih mirip Bahadur dari Timur Tengah. Matanya melotot. Menyeramkan!
“Siapa, Bang?” tanya istriku dari dalam.
Keringatku masih lebat bercucuran,
bibirku ngilu tak terucap sepatah kata pun. Aku tidak tahu harus
mengatakan apa kepada bidadariku itu. Tak lama, ia keluar ke arahku yang
sedang berdiri berhadapan dengan algojo.
“Arrggh!” istriku menjerit kaget. Aku
mengacungkan telunjuk ke bibir menyuruhnya untuk tenang meski tak bisa
didustai bahwa aku juga ketakutan.
Algojo itu datang untuk menagih utang.
Debt collector. Aku sadar, utangku terlampau banyak di usia yang
terbilang masih muda. Biasa, untuk menjalankan bisnis. Namun aku tidak
tahu bagaimana membayar utangku itu. Aku hanya bisa
berpikir….berpikir…dan berpikir. Lalu kujelaskan kepada algojo itu bahwa
aku akan melunasi dalam waktu dekat.
Masih. Aku masih ketakutan. Dengan
samurai itu. Terbayang apa jadinya bila kepala dipenggal oleh samurai
yang kilatannya menyilaukan mata. Tipis. Sekali tebas kepalaku akan
libas. Dan lebih parah betapa traumatiknya istriku bila melihatku mati
di depan matanya dengan kepala terpenggal. Mati yang konyol.
Sekali lagi aku meyakinkan ke algojo itu
bahwa aku akan melunasinya, meski aku sendiri tak yakin bagaimana aku
bisa melunasi utang yang bilangan hingga ratusan juta. Aku hanya mampu
berdoa. Aku yakin doa bisa mengubah segalanya.
Aku ingat benar dengar nasihat Rasulullah lewat sabdanya, “Ada
tiga golongan manusia yang pasti ditolong oleh Allah: orang yang
berjihad di jalan Allah, budak yang ingin menebus dirinya (dengan
membayar uang kepada majikannya) dan orang yang menikah karena ingin
menjaga kesucian dirinya.” (HR.at-Tirmidzi, no. 1655 dan an-Nasa-I, no. 3120, dinyatakan hasan oleh Imam at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani).
Istriku masih dalam ketakutan yang
berlebihan, takut algojo bersamurai yang tatapannya menakutkan itu
datang lagi. Aku coba menenangkan bahwa semua akan baik-baik saja.
Akhirnya pertolongan itu nyata datang. Pertolongan itu datang dari
orangtuaku yang mau menjual mobilnya demi pelunasan utang-utangku. Aku
bernafas lega, semua sudah teratasi berkat pertolongan Allah. Aku
berjanji untuk mengganti mobil tersebut dan alhamdulilah sudah
kukembalikan uang milik orangtua meski pada awalnya mereka menolak.
Sign up here with your email
Silahkan berkomentar sesuai dengan tema poting di atas ConversionConversion EmoticonEmoticon